MENGATASI KRISIS AIR BERSIH MENGGUNKAN TANAH
Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia seperti Semarang, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar diperkirakan dalam waktu 10 tahun ke depan akan mengalami krisis air bersih yang parah baik untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun untuk industri. Saat ini saja konflik antar masyarakat untuk mendapatkan air bersih semakin sering terjadi. Waduk-waduk besar seperti Jatiluhur, Cirata, Saguling, dan Kedung Ombo yang dibangun dengan dana yang tidak sedikit semakin hari semakin keteteran dalam memasok air baik untuk keperluan irigasi, pembangkit listrik, maupun untuk kebutuhan rumah tangga masyarakat perkotaan. Kekurangan pasokan air ini disikapi masyarakat dengan jalan memompa air dari dalam perut bumi ke permukaan tanah. Pendekatan yang sama dilakukan juga oleh pelaku industri baik kecil, menengah, maupun industri besar.
Pemompaan air tanah ini terus berlanjut tanpa kendali. Satu survai yang dilakukan di Semarang pada tahun 1994 menunjukkan bahwa pengambilan air tanah dalam di Semarang mencapai 44 ribu meter kubik perhari. Pengguna terbesar adalah industri (330 liter perdetik), disusul kemudian oleh PDAM (300 liter perdetik), dan perorangan, hotel dan perkantoran (200 liter perdetik). Di tahun 2004 ini atau sepuluh tahun setelah survai itu dilaksanakan angka tersebut tentunya telah mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya industri dan jumlah penduduk. Penyedotan air yang tidak terkendali dari dalam tanah yang tidak dibarengi dengan penambahan air yang seimbang melalui proses infiltrasi dan perkolasi menyebabkan turunnya muka air tanah (ABT). Penurunan muka ABT diamati telah terjadi di sejumlah kota besar. Di Semarang, penurunan muka ABT saat ini telah mencapai kedalaman 24,6 meter, 24 meter lebih dalam dibanding kondisi pada tahun 1970-an (KOMPAS, 16/8/04). Di Bandung, laju penurunan muka ABT ditengarai mencapai 1-2 meter pertahun (Media Indonesia, 14/8/04). Kondisi yang lebih parah tentu akan dijumpai di Jakarta.
Paling tidak ada empat bencana yang akan terjadi jika kondisi ini terus berlangsung. Yang pertama adalah berkurangnya pasokan air ke waduk-waduk yang dibangun sebagai penyimpan air yang nantinya digunakan untuk berbagai keperluan. Pembangunan yang tidak terkendali di cekungan Bandung telah menurunkan pasokan air ke waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur, sehingga mengancam kelangsungan fungsi-fungsi strategisnya. Gambar 1 memperlihatkan perubahan fungsi lahan dari hutan menjadi bangunan di DAS Citarum Hulu tahun 1962 sampai 2002. Luas hutan berkurang dari 58,152 ha pada tahun 1962 menjadi 34,290 ha pada tahun 2002, sementara luas bangunan meningkat dari hanya 6,038 ha menjadi 28,534 ha. Kondisi yang sama terjadi di cekungan Semarang-Demak dan cekungan Surabaya-Pasuruan. Berkurangnya volume air di waduk-waduk serbaguna akan menyebabkan dampak negatif lanjutan yang berantai. Petani akan mengalami gagal panen sehingga mengganggu pasokan bahan pangan akibat tidak terpenuhinya kebutuhan irigasi. Kegiatan produksi tidak maksimal karena terganggunya pasokan energi listrik, dan yang tidak kalah pentingnya adalah pasokan air yang cukup untuk kebutuhan rumah tangga makin sulit dipenuhi.
Waduk-waduk semakin tergantung pada curah hujan untuk memenuhi kebutuhan minimum volume airnya untuk dapat berfungsi. Sehingga apabila curah hujan berada di bawah normal, waduk-waduk tersebut pun mengalami krisis air. Tahun lalu, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah melaporkan bahwa dari 72 waduk besar dan 36 embung yang dipantaunya, hanya 11 waduk dan 1 embung yang berada dalam kondisi normal, yang lainnya tidak normal sehingga perlu tambahan air. Tambahan air ini diperoleh dengan hujan buatan, yang tentu saja memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk melaksanakannya.
Bencana kedua adalah penurunan permukaan tanah. Penurunan permukaan tanah ini terutama dapat dijumpai pada daerah yang dibangun diatas lahan basah atau rawa. Kekeringan pada tanah yang mengandung banyak bahan organik ini akan menyebabkan terjadinya pengerutan volume tanah dan sebagai akibat lanjutannya adalah amblasnya permukaan tanah. Fenomena ini telah diamati dibeberapa kota besar seperti Semarang dan Jakarta. Daerah-daerah yang sebelumnya tidak kebanjiran menjadi sangat mudah tergenang air, lantai dan dinding bangunanpun menjadi retak-retak sebagai akibat penurunan permukaan tanah ini.
Bencana ketiga adalah terjadinya intrusi air laut. Penurunan muka ABT berakibat pada makin besarnya volume rongga atau pori-pori tanah, yang dalam kondisi ideal berisi udara dan air segar, yang kering kerontang. Pori-pori tanah yang telah ditinggalkan oleh air segar berkadar garam rendah (+ 1000 ppm) ini kemudian diisi oleh air laut yang berkadar garam tinggi (+ 35.000 ppm). Air laut ini selain tidak layak untuk diminum juga tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman untuk proses metabolismenya dan merusak struktur tanah. Dilaporkan bahwa intrusi air laut ini telah terjadi di Jakarta, Semarang, dan kota besar lainnya. Di Jakarta, intrusi air laut ini telah menghampiri kawasan Monas, sedangkan di Semarang telah sampai di Simpang Lima. Jika kondisi ini terus berlanjut dapat diduga bahwa Jakarta, Semarang dan kota-kota pantai lainnya akan semakin gersang dan langka air bersih.
Bencana keempat adalah meningkatnya harga air persatuan volume. Dengan bertambah dalamnya ABT maka pipa yang dipergunakan untuk memompa air dari dalam tanah harus dibuat makin panjang. Konsekuensinya adalah energi yang dibutuhkan untuk memompa air persatuan volume juga membengkak. Masyarakatpun dipaksa untuk merogoh kantongnya lebih dalam lagi untuk membayar rekening airnya. Tahun ini saja harga air bersih di Bogor telah meningkat hampir dua kali lipat dibanding sebelumnya. Semua ini adalah sebagai akibat dari bertambahnya ongkos produksi air bersih persatuan volume.
Dalam jangka panjang keempat bencana tersebut dapat diatasi dengan melakukan peninjauan ulang terhadap pembangunan sumberdaya air kita. Jika sebelumnya pemerintah memfokuskan penyediaan air bersih dengan membangun dam dan waduk berskala besar dengan biaya jutaan dollar, maka sudah waktunya dipikirkan alternatif lain yang lebih murah dan sifatnya in situ. Alternatif tersebut adalah dengan memanfaatkan tanah yang kita pijak sebagai media penampung air.
Kedengarannya aneh, namun demikian perlu diketahui bahwa tanah yang kita pijak sehari-hari terdiri atas 3 bahan utama yaitu padatan, udara, dan air. Bahan padatan adalah butir-butir liat, lempung, dan pasiran yang tercampur sedemikian rupa dengan komposisi yang berbeda-beda yang kemudian disebut tekstur tanah. Tekstur tanah ini kemudian membentuk agregate tanah dengan bantuan bahan organic yang telah melapuk. Karena ukuran dan bentuk butiran tersebut berbeda, maka dalam proses pembentukan agregate tanah, terbentuk juga rongga atau dikenal sebagai pori tanah. Pori tanah ini, baik yang berukuran makro, meso maupun mikro, kemudian akan terisi oleh air dan udara. Kemampuan pori tanah dalam menyimpan air inilah yang belum banyak dimanfaatkan. Tanah dengan luasan 1 hektar berkedalaman 1 meter diperkirakan mampu menyimpan air sekitar 2500 meter kubik. Jumlah ini mampu memenuhi kebutuhan air untuk 10000 orang, jika kebutuhan air perorang rata-rata 250 liter perhari. Volume air yang tersimpan akan lebih banyak jika kedalaman tanah yang diperhitungkan lebih dalam lagi.
Sayangnya model pembangunan kita mengabaikan kemampuan besar dari tanah untuk ini untuk mengamankan kebutuhan air kita yang sangat vital. Pembangunan gedung-gedung, lapangan parkir, dan jalan telah menihilkan air yang meresap kedalam tanah. Model pembangunan seperti ini menyebabkan sebagian besar air hujan akan langsung mengalir masuk ke parit kemudian kesungai dan sangat sedikit yang meresp ke dalam tanah. Akibatnya adalah banjir pada musim hujan karena sungai tidak mampu lagi menampung volume air limpasan permukaan dan kekeringan pada musim hujan karena tidak ada air tersimpan didalam tanah.
Kedua aspek ini, pembangunan dan air tanah, yang kelihatannya saling bertentangan sebenatrnya dapat saling mendukung apabila diterapkan teknologi yang dapat menjembatani keduanya. Dinegara maju seperti Amerika, membangun storm water detention and retention systems sudah menjadi keharusan bagi setiap pengembang yang akan membangun. Sistem ini dapat dibuat diatas permukaan tanah dalam bentuk embung-embung jika lahan mencukupi, tetapi juga dapat dibuat di bawah permukaan tanah dengan memasang rangkain pipa-pipa berpori. Rangkaian pipa-pipa berpori ini umumnya dipasang didalam tanah parallel dengan lapangan parkir yang ada diatasnya sehingga tidak menyita lahan. Prinsip utamanya adalah pipa-pipa ini menampung sementara air limpasan permukaan untuk kemudian dilepaskan ke tanah secara perlahan-lahan. Manfaatnya adalah mengurangi bahaya banjir pada musim hujan karena air limpasan permukaan tertampung sementara didalam pipa. Tentu saja harus dihitung potensi volume air limpasan permukaan sebelum pembangunan yang kemudian disesuaikan dengan daya tampung pipa yang akan dipasang. Manfaat lainnya adalah mengisi kembali pori tanah tersebut dengan air segar dengan demikian akan mencegah intrusi air laut dan menyediakan sumber air. Keberhasilan penerapan teknologi ini sangat tergantung pada political will pemerintah yang ditunjukkan dengan penerbitan Perda yang mengharuskan pengembang untuk mengelola air limpasan permukaan sebagai akibat dari proyeknya. Teknologi ini dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengendalikan air limpasan permukaan sekaligus menyediakan kebutuhan air bersih. Selanjutnya adalah law enforcement dari peraturan yang sudah dibuat untuk menjamin pelaksanaannya di lapangan.
Achmad Rachman