Jumat, 25 April 2003
Bertetangga adalah bagian kehidupan manusia yang hampir tidak bisa ditolak. Sebab manusia memang tidak semata-mata makhluk individu, tapi juga merupakan makhluk sosial. Faktanya, seseorang memang tidak bisa hidup sendirian. Mereka satu sama lain harus selalu bermitra dalam mencapai kebaikan bersama.
Islam bahkan memerintahkan segenap manusia untuk senantiasa berjamaah dan berlomba dalam berbuat kebaikan. Sebaliknya, Islam melarang manusia bersekutu dalam melakukan dosa dan permusuhan. "Bertolong-tolonganlah kamu dalam berbuat kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya." (QS al-Maidah [5]: 2)
Setiap orang tentu ingin hidup rukun dan harmonis dengan tetangganya. Hanya orang-orang yang memiliki penyakit hati saja yang mungkin menolak suasana hubungan harmonis itu. Keharmonisan hubungan bertetangga sebenarnya amat penting. Sebab kekuatan sendi-sendi sosial suatu masyarakat, sangat ditentukan oleh keharmonisan hubungan antarwarganya. Sebaliknya, bila dalam suatu komunitas terjadi disharmoni hubungan antaranggotanya, maka akan melemahkan sendi-sendi sosial komunitas tersebut.
Memang sungguh nikmat jika kita memiliki tetangga-tetangga yang baik akhlaknya, ramah, dan penuh perhatian. Kendati demikian, kita tidak pernah bisa memaksa orang lain untuk selalu bersikap baik, kecuali kita paksa diri kita sendiri untuk bersikap baik terhadap siapapun.
Alangkah beruntungnya jikalau kita hidup dan bertetangga dengan orang-orang yang mulia. Walaupun rumah sempit, kalau tetangganya baik tentu akan terasa lapang. Dan alangkah ruginya, jika rumah kita dikelilingi oleh tetangga-tetangga yang busuk hati. Walaupun rumah lapang, niscaya akan terasa sempit.
Menurut Imam Syafi'i, yang dimaksud dengan tetangga adalah 40 rumah di samping kiri, kanan, depan, dan belakang. Mau tidak mau, setiap hari kita berjumpa dengan mereka. Baik hanya sekadar melempar senyum, lambaian tangan, salam, atau malah ngobrol di antara pagar rumah.
Islam sangat memperhatikan masalah adab-adab bertetangga.
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah mengingatkan Fatimah dengan keras agar segera memberikan tetangga mereka apa yang menjadi hak-hak mereka. Kisahnya berawal ketika Rasulullah SAW pulang dari bepergian. Beberapa meter menjelang rumahnya, Rasulullah SAW mencium aroma gulai kambing yang terbit dari rumah beliau.
Rasul segera bergegas menuju ke rumahnya dan menemui Fatimah yang ternyata memang sedang memasak gulai kambing. Spontan Rasulullah SAW memerintahkan putri tercinta beliau untuk memperbanyak kuah gulai yang sedang dimasaknya.
Dari kisah di atas bisa kita ambil kesimpulan bahwa ini merupakan salah satu bentuk kepedulian sosial yang diperintahkan Islam kepada kita. Islam memerintahkan kepada kita untuk senantiasa mempertajam sense of social kita. Dari sini bisa dipahami, betapa Islam mengajarkan kita untuk senantiasa membiasakan diri merasakan kesenangan dan kesulitan bersama dengan masyarakat kita.
Artinya Islam sangat melarang kita hidup egois, serakah, dan individualistik. Penghormatan kepada tetangga sesungguhnya merupakan bagian dari aktualisasi keimanan kita kepada Allah Azza wa Jalla dan Hari Akhir, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya." (HR Muslim)
Dengan begitu seseorang tidak dikatakan beriman kepada Allah dan Hari Akhir, jika dia menyia-nyiakan tetangganya. Jika dia tidak menyantuni kebutuhan tetangganya. Termasuk menyia-nyiakan tetangga tentunya adalah, bila dia tidak pernah mengunjungi tetangga dan menanyakan keadaan mereka. Dengan demikian bergaul dengan tetangga, mengetahui tentang keadaan ekonomi mereka, serta mendakwahi mereka termasuk hak-hak tetangga yang harus kita tunaikan.
Anjuran untuk menghormati tetangga, tentu maknanya amat luas. Menghormati berarti juga tidak menyakiti hatinya, selalu berwajah manis pada tetangga, tidak menceritakan aib tetangga kita, tidak menghina dan melecehkannya, dan tentu juga tidak menelantarkannya jika dia tengah membutuhkan pertolongan kita.
Dr Yusuf Qardhawi menyebutkan, seorang tetangga memiliki peran sentral dalam memelihara harta dan kehormatan warga sekitarnya. Dengan demikian seorang Mukmin pada hakikatnya merupakan penjaga yang harus bertanggung jawab terhadap keselamatan seluruh milik tetangganya. Bahkan, seorang tidak dikatakan beriman jika dia tidak bisa memberi rasa aman pada tetangganya.
Dalam sebuah Hadis, Rasulullah SAW bersabda, "Hak tetangga ialah, bila dia sakit, kamu kunjungi. Bila wafat, kamu mengantarkan jenazahnya. Bila dia membutuhkan uang, maka kamu pinjami. Dan bila mengalami kesukaran/kemiskinan, maka jangan dibeberkan, aib-aibnya kamu tutup-tutupi dan rahasiakan. Bila dia memperoleh kebaikan, maka kita turut bersuka cita dan mengucapkan selamat kepadanya.
Dan bila menghadapi musibah, kamu datang untuk menyampaikan rasa duka. Jangan sengaja meninggikan bangunan rumahmu melebihi bangunan rumahnya, lalu menutup jalan udaranya (kelancaran angin baginya). Dan janganlah kamu mengganggunya dengan bau masakan, kecuali kamu menciduknya dan memberikan kepadanya."
Keharmonisan hubungan bertetangga bukan hanya bisa menciptakan lingkungan yang bersih, sehat, dan aman, tapi juga menciptakan benteng yang kokoh bagi anak-anak kita dari segala bentuk kejahatan yang datang dari luar maupun dari dalam. Tetangga bisa menebarkan rahmat dan kasih-sayang. Tetapi sebaliknya, tetangga bisa juga menebarkan kemalangan dan malapetaka bagi lingkungannya.
Akibat hak-hak bertetangga banyak dilupakan inilah, tak sedikit masyarakat yang mengalami keresahan. Anggota masyarakat justru menjadi sumber masalah. Sering terjadi kejahatan justru dilakukan oleh anggota masyarakat mereka sendiri. Sehingga tak jarang kita mendengar kasus-kasus pencurian, perampokan, pembunuhan, serta perkosaan dalam suatu masyarakat, pelakunya tak lain adalah para tetangga mereka sendiri. Na`udzubillah min dzalik.
Rasanya, kita senantiasa harus mulai melakukan instrospeksi diri. Apakah tetangga kita menyukai kehadiran kita atau jangan-jangan mereka malah terganggu dengan kehadiran kita. Maka sudah saatnya kita menebarkan salam, senyum, sapa, seraya bersikap sopan dan santun pada orang yang berada di sekitar tempat tinggal kita. Wallahu a'lam. driana/kus/mqp
( )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar