Mendulang Laba Barang Gosong
Oleh trubus
Senin, 12 Maret 2007 17:18:09
Enam bulan lamanya Cornelius Triyanto berkeliling Jawa. Bukan untuk pelesir, tetapi mencari arang bambu. Yang dicari tak tanggung-tanggung, 72 ton rutin setiap bulan. Sayang, ikhtiar itu tak memuaskan hatinya. Dari berbagai daerah itu ia cuma sanggup
mengirimkan 2 ton arang per bulan ke Jepang. Ia menjual US$2,4 per kg sehingga laba bersihnya Rp165-juta.
Laba bersih yang ditangguk Cornelius Triyanto tentu bakal melambung andai saja ia sanggup memenuhi semua permintaan. Ternyata, 'Sulit menemukan arang bambu. Banyak yang bilang itu barang langka,' kata Triyanto. Itu sebabnya, pria kelahiran Solo, Jawa Tengah, itu masih mencari pasokan ke berbagai sentra bambu. Ia pun bersedia menampung pasokan dari plasma sepanjang memenuhi kriteria seperti arang utuh
dan kelembapan 0,3%.
Semula ia rutin mengekspor sapu ijuk ke jepang. Koleganya itu kemudian juga rutin meminta pasokan arang bambu. Di negeri Sakura arang bambu sebagai hiasan, penyerap uap ruangan, dan menghilangkan bau tak sedap.
Selain arang bambu, pasar juga memburu arang tempurung kelapa. Permintaannya tak kalah menjulang. Agus angkat tangan ketika eksportir di Jakarta meminta rutin 2.000 ton arang tempurung per bulan. Itu belum termasuk permintaan pabrik minyak kelapa sawit di Pekanbaru, Riau, 200 ton per bulan.
Produsen arang tempurung kelapa di Ujungberung, Bandung, Jawa Barat, itu kini hanya sanggup memasok 3-5 ton per bulan untuk pabrik pengolahan air. Dengan harga jual Rp2.000 per kg (1 kg arang dari 4 kg bahan baku), omzetnya mencapai Rp6-juta-Rp10- juta per bulan.
Karena biaya produksinya cuma Rp1.200 per kg sehingga laba bersih yang ditangguk Rp4-juta sebulan. Agus menggeluti bisnis arang lantaran terinspirasi kinerja mesin air minum isi ulang yang memanfaatkan karbon aktif sebagai filter.
Kelahiran Bandung 1 Januari 1965 itu segera mencari tahu asal-muasal arang aktif. Koleganya mengatakan arang aktif dari batok kelapa berharga tinggi. Sebuah produsen arang aktif, justru menantangnya untuk memasok 10 ton arang per bulan. Agus pun tergugah dan membuka pabrik arang batok kelapa pada Januari 2006 untuk membuat briket dan butiran arang. Ia memanfaatkan tempurung dari berbagai kota seperti Bandung, Ciamis, Tasikmalaya, dan Garut.
Arang aktif
Menurut Agus harga arang aktif 5 kali lebih besar daripada harga jual arang granular yang saat ini diproduksinya. Namun, untuk memproduksi arang aktif perlu modal besar. Selain itu proses produksinya juga njlimet. Misalnya, untuk mengaktivasi arang dengan proses fisika, perlu alat khusus untuk memanaskan arang pada suhu 1.000°C disertai pengaliran uap. Itu berarti Agus membutuhkan mesin pembakar.
Di Bandung ada Afnil yang sukses memproduksi arang aktif. Mantan kontraktor air bersih itu memasok arang aktif asal batok kelapa ke sebuah perusahaan besar. Arang aktif dimanfaatkan sebagai penyerap kotoran-kotoran pada limbah. Afnil meneken kontrak untuk memasok 400 ton arang aktif sampai Juli 2007. pengiriman pertama pada Januari 2007, baru 40 ton. Alumnus Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung itu memperoleh harga Rp7.000 per kg.
Dari pengiriman pertama, Afnil meraup omzet Rp280-juta. Padahal, 'Biaya produksinya hanya Rp2.000/kg', katanya. Artinya, total laba bersih mencapai Rp200-juta. Angka itu bakal terus menggunung bila ia memenuhi seluruh permintaan itu. Namun, Afnil
mengatakan investasi yang dibenamkan juga tak kecil. Untuk membangun pabrik arang aktif, laboratorium, dan pembelian mesin ia menghabiskan Rp500-juta.
Sebelumnya ia juga meriset arang aktif yang dihasilkan produk bermutu dan berendemen tinggi. 'Biasanya pabrik lain butuh waktu 12 jam dengan rendemen 20%, produksi saya hanya 2-5 jam dengan rendemen 30%,' katanya. Indikator utama penyerapannya pun berkualitas tinggi, 1.000 mg/g. Oleh karena itu biaya produksi dapat ditekan, hanya
Rp2.000/kg arang aktif.
Sekelam arang
Laba berniaga arang aktif memang menggiurkan. Namun, bukan berarti tanpa hambatan bila hendak menerjuni bisnis itu. Bila gagal, nasib produsen bisa sekelam arang. Itulah yang dialami Wira Gustria. Produsen arang di Sidoarjo, Jawa Timur, itu merugi Rp67-juta. Musababnya, biaya produksi tak sebanding dengan harga jual. Pada
September 2006 ia memproduksi 45 ton arang dan hanya memperoleh harga Rp1.100/kg. Padahal, harga tempurung saja Rp250/kg atau Rp1.000 untuk menghasilkan 1 kg arang.
Namun, bila mampu mengatasi aral, 'Sebenarnya banyak negara yang membutuhkan arang dari Indonesia,' kata Jhonny W Utama, direktur PT Dian Niaga yang mengekspor briket arang ke Eropa dan Jepang selama 20 tahun terakhir. Permintaan dari Jepang mencapai 10 ton per bulan.
Sayang, kualitas arang para plasma semakin menurun. Parameter kualitas arang 7.000 kalori tidak lagi dicapai. Itu sebabnya, Dian Niaga tak lagi tergantung pada pasokan plasma, tetapi memproduksi arang sendiri di Pontianak, Kalimantan Barat. Lantaran mampu menjaga mutu, pasokan arangnya terus meningkat. Pada 2005 ia mengirim 1-2 kontainer setara 9-18 ton per bulan. Kemudian saat meningkat menjadi 4-5 kontainer. Menurut prediksi Jhonny, permintaan arang di pasar dunia pada tahun-tahun mendatang semakin meningkat.
Itu terbukti dengan prediksi kebutuhan arang di Eropa, baik untuk pembakaran atau industri arang aktif mencapai 200.000 ton per tahun. Indonesia sebagai penghasil utama arang batok bakal kebanjiran order, bila mampu menjaga mutu. Untuk menghasilkan barang gosong itu, tak sekadar membakar tempurung atau bambu. Membakar sembarangan berarti membakar laba di depan mata.
Kompleks Pertanian Atsiri Permai Citayam, Desa Ragajaya, Kec. Bojonggede, Kab. Bogor. email : kotaksuratsekata@gmail.com
Kamis, Maret 29, 2007
Rabu, Januari 17, 2007
Berita Duka KA V/32
Innalillahi wa inaillhi rojiun
Telah Berpulang ke Rahmatullah Eko (23) anak dari Bapak Irman Satria yang beralamat di Jl. Kenanga V No. 32 , sekitar pukul 10.00 wib tadi pagi. Kami atas nama seluruh warga Sekata turut berduka, dan semoga keluarga yang ditinggal dalam ketabahan dan lindunganNya, amin.
Telah Berpulang ke Rahmatullah Eko (23) anak dari Bapak Irman Satria yang beralamat di Jl. Kenanga V No. 32 , sekitar pukul 10.00 wib tadi pagi. Kami atas nama seluruh warga Sekata turut berduka, dan semoga keluarga yang ditinggal dalam ketabahan dan lindunganNya, amin.
Minggu, Desember 24, 2006
Hasil Perhitungan Suara Tahap II
Pada hari Minggu tanggal dua puluh empat Desember dua ribu enam, pukul 21.00 WIB, bertempat di rumah kediaman Bapak Ketua RT 01 Sekata, telah dilakukan penghitungan suara tahap II pemilihan pengurus RT 01 sekata yang baru, dengan disaksikan beberapa orang warga Sekata, maka tepat pada pukul 22.00 WIB di dapatkan hasil penghitungan sebgai berikut, jumlah suara yang masuk 110 (seratus sepuluh) suara, yang sah 108 (seratus delapan) suara, yang tidak sah 2 (dua) suara dengan rincian sebagai berikut :
Ketua RT :
1. Sumardi : 75 (tujuh puluh lima) suara
2. Rico Simanjuntak : 9 (sembilan) suara
3. Asnomo : 4 (empat) suara
4. Suyoko : 1 (satu) suara
5. Aris Pramudia : 15 (lima belas) suara
6. Chessy Hasyim : 4 (empat) suara
Sekretaris RT :
1. Rico Simanjuntak : 45 (empat puluh lima) suara
2. Sonny Wibisono : 27 (dua puluh tujuh) suara
3. Suyoko : 8 (delapan) suara
4. Waldrik Silitonga : 9 (sembilan) suara
5. Eko Nugroho : 15 (lima belas) suara
Bendahara RT :
1. Suyoko : 71(tujuh puluh satu) suara
2. Sonny Wibisono : 4 (empat) suara
3. Cecep Komaruddin : 10 (sepuluh) suara
4. Supriyanto : 4 (empat) suara
5. Eko Nugroho : 2 (dua) suara
6. Rico Simanjuntak : 3 (tiga) suara
7. Benny Setyawan : 9 (sembilan) suara
Maka dengan ini ditetapkan dan terpilih dengan hormat pengurus RT 01/012 periode 2007-2009 sebagai berikut :
1. Ketua RT : Bapak Sumardi, Jl. Kenanga IV no. 7
2. Sekretaris RT : Rico Simanjuntak, Jl. Kenanga V no. 14
3. Bendahara RT : Bapak Suyoko, Jl. Sedap Malam IV no. 22
Kepada pengurus yang terpilih kami ucapkan selamat dan kami warga sekata mendukung sepenuhnya kepengurusan yang baru. selamat bertugas.
Atas nama warga Sekata
Admin
Ketua RT :
1. Sumardi : 75 (tujuh puluh lima) suara
2. Rico Simanjuntak : 9 (sembilan) suara
3. Asnomo : 4 (empat) suara
4. Suyoko : 1 (satu) suara
5. Aris Pramudia : 15 (lima belas) suara
6. Chessy Hasyim : 4 (empat) suara
Sekretaris RT :
1. Rico Simanjuntak : 45 (empat puluh lima) suara
2. Sonny Wibisono : 27 (dua puluh tujuh) suara
3. Suyoko : 8 (delapan) suara
4. Waldrik Silitonga : 9 (sembilan) suara
5. Eko Nugroho : 15 (lima belas) suara
Bendahara RT :
1. Suyoko : 71(tujuh puluh satu) suara
2. Sonny Wibisono : 4 (empat) suara
3. Cecep Komaruddin : 10 (sepuluh) suara
4. Supriyanto : 4 (empat) suara
5. Eko Nugroho : 2 (dua) suara
6. Rico Simanjuntak : 3 (tiga) suara
7. Benny Setyawan : 9 (sembilan) suara
Maka dengan ini ditetapkan dan terpilih dengan hormat pengurus RT 01/012 periode 2007-2009 sebagai berikut :
1. Ketua RT : Bapak Sumardi, Jl. Kenanga IV no. 7
2. Sekretaris RT : Rico Simanjuntak, Jl. Kenanga V no. 14
3. Bendahara RT : Bapak Suyoko, Jl. Sedap Malam IV no. 22
Kepada pengurus yang terpilih kami ucapkan selamat dan kami warga sekata mendukung sepenuhnya kepengurusan yang baru. selamat bertugas.
Atas nama warga Sekata
Admin
Senin, Desember 18, 2006
Hasil Pemilihan Pengurus RT tahap I
Mengingat telah berakhirnya masa Jabatan pengurus RT 01 RW 12 Sekata pada bulan November 2006 yang lalu, maka pada tanggal 11 Desember 2006, telah dilakukan sosialisasi untuk pemilihan pengurus RT periode 2007 s.d 2009 sekaligus pembagaian surat suara tahap I.
Berselang seminggu kemudian yaitu pada tanggal 17 Desember 2006 tepat pada pukul 22.00 wib bertempat di Kantor Sekretariat RT di Jalan Kenanga IV, dilakukan penghitungan suara tahap I.
Dengan dihadiri oleh pengurus RT dan beberapa orang warga, maka hasil perhitungan suara malam itu adalah sebagai berikut :
Jumlah surat suara yang masuk : 114 surat suara
Jumlah surat suara yang sah : 113 surat suara
Jumlah surat suara yang tidak sah : 1 surat suara
Calon Ketua RT
1. Sumardi Jl. Kenanga IV 65 suara
2. Rico Simanjuntak Jl. Kenanga V 13 suara
3. Asnomo Jl. Sedap Malam III 5 suara
4. Suyoko Jl. Sedap Malam IV 4 suara
5. Aris Pramudia Jl. Sedap Malam III 3 suara
6. Cessy Hasyim Jl. Sedap Malam Raya 3 suara
Calon Sekretaris RT
1. Rico Siamanjuntak Jl. Kenanga V 33 suara
2. Sonny Wibisono Jl. Kenanga IV 17 suara
3. Suyoko Jl. Sedap Malam IV 12 suara
4. Waldrik Silitonga Jl. Sedap Malam III 10 suara
5. Eko Nugroho Jl. Sedap Malam Raya 9 suara
Calon Bendahara RT
1. Suyoko Jl. Sedap Malam IV 52 suara
2. Sonny Wibisono Jl. Kenanga IV 5 suara
3. Supriyanto Jl. Sedap Malam Raya 4 suara
4. Cecep Komaruddin Jl. Sedap Malam IV 4 suara
5. Eko Nugroho Jl. Sedap Malam Raya 4 suara
6. Rico Simanjuntak Jl. Kenanga V 4 suara
7. Benny Setyawan Jl. Kenanga V 4 suara
Setelah didapatkan calon diatas, maka hari ini 18 Desember 2006 (sesuai jadwal) telah dibagikan edaran sosialisasi hasil pemilihan tahap I dan sekaligus pembagian kartu suara untuk pemilihan tahap II.
Selamat menggunakan hak pilih anda, nanti tanggal 23 Desember 2006 akan dilakukan pengumpulan surat suara, dan penghitungan pada tanggal 24 Desember 2006. hidup SEKATA.
Admin
Berselang seminggu kemudian yaitu pada tanggal 17 Desember 2006 tepat pada pukul 22.00 wib bertempat di Kantor Sekretariat RT di Jalan Kenanga IV, dilakukan penghitungan suara tahap I.
Dengan dihadiri oleh pengurus RT dan beberapa orang warga, maka hasil perhitungan suara malam itu adalah sebagai berikut :
Jumlah surat suara yang masuk : 114 surat suara
Jumlah surat suara yang sah : 113 surat suara
Jumlah surat suara yang tidak sah : 1 surat suara
Calon Ketua RT
1. Sumardi Jl. Kenanga IV 65 suara
2. Rico Simanjuntak Jl. Kenanga V 13 suara
3. Asnomo Jl. Sedap Malam III 5 suara
4. Suyoko Jl. Sedap Malam IV 4 suara
5. Aris Pramudia Jl. Sedap Malam III 3 suara
6. Cessy Hasyim Jl. Sedap Malam Raya 3 suara
Calon Sekretaris RT
1. Rico Siamanjuntak Jl. Kenanga V 33 suara
2. Sonny Wibisono Jl. Kenanga IV 17 suara
3. Suyoko Jl. Sedap Malam IV 12 suara
4. Waldrik Silitonga Jl. Sedap Malam III 10 suara
5. Eko Nugroho Jl. Sedap Malam Raya 9 suara
Calon Bendahara RT
1. Suyoko Jl. Sedap Malam IV 52 suara
2. Sonny Wibisono Jl. Kenanga IV 5 suara
3. Supriyanto Jl. Sedap Malam Raya 4 suara
4. Cecep Komaruddin Jl. Sedap Malam IV 4 suara
5. Eko Nugroho Jl. Sedap Malam Raya 4 suara
6. Rico Simanjuntak Jl. Kenanga V 4 suara
7. Benny Setyawan Jl. Kenanga V 4 suara
Setelah didapatkan calon diatas, maka hari ini 18 Desember 2006 (sesuai jadwal) telah dibagikan edaran sosialisasi hasil pemilihan tahap I dan sekaligus pembagian kartu suara untuk pemilihan tahap II.
Selamat menggunakan hak pilih anda, nanti tanggal 23 Desember 2006 akan dilakukan pengumpulan surat suara, dan penghitungan pada tanggal 24 Desember 2006. hidup SEKATA.
Admin
Jumat, November 10, 2006
Rabu, Oktober 04, 2006
MENGATASI KRISIS AIR BERSIH MENGGUNKAN TANAH
MENGATASI KRISIS AIR BERSIH MENGGUNKAN TANAH
Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia seperti Semarang, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar diperkirakan dalam waktu 10 tahun ke depan akan mengalami krisis air bersih yang parah baik untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun untuk industri. Saat ini saja konflik antar masyarakat untuk mendapatkan air bersih semakin sering terjadi. Waduk-waduk besar seperti Jatiluhur, Cirata, Saguling, dan Kedung Ombo yang dibangun dengan dana yang tidak sedikit semakin hari semakin keteteran dalam memasok air baik untuk keperluan irigasi, pembangkit listrik, maupun untuk kebutuhan rumah tangga masyarakat perkotaan. Kekurangan pasokan air ini disikapi masyarakat dengan jalan memompa air dari dalam perut bumi ke permukaan tanah. Pendekatan yang sama dilakukan juga oleh pelaku industri baik kecil, menengah, maupun industri besar.
Pemompaan air tanah ini terus berlanjut tanpa kendali. Satu survai yang dilakukan di Semarang pada tahun 1994 menunjukkan bahwa pengambilan air tanah dalam di Semarang mencapai 44 ribu meter kubik perhari. Pengguna terbesar adalah industri (330 liter perdetik), disusul kemudian oleh PDAM (300 liter perdetik), dan perorangan, hotel dan perkantoran (200 liter perdetik). Di tahun 2004 ini atau sepuluh tahun setelah survai itu dilaksanakan angka tersebut tentunya telah mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya industri dan jumlah penduduk. Penyedotan air yang tidak terkendali dari dalam tanah yang tidak dibarengi dengan penambahan air yang seimbang melalui proses infiltrasi dan perkolasi menyebabkan turunnya muka air tanah (ABT). Penurunan muka ABT diamati telah terjadi di sejumlah kota besar. Di Semarang, penurunan muka ABT saat ini telah mencapai kedalaman 24,6 meter, 24 meter lebih dalam dibanding kondisi pada tahun 1970-an (KOMPAS, 16/8/04). Di Bandung, laju penurunan muka ABT ditengarai mencapai 1-2 meter pertahun (Media Indonesia, 14/8/04). Kondisi yang lebih parah tentu akan dijumpai di Jakarta.
Paling tidak ada empat bencana yang akan terjadi jika kondisi ini terus berlangsung. Yang pertama adalah berkurangnya pasokan air ke waduk-waduk yang dibangun sebagai penyimpan air yang nantinya digunakan untuk berbagai keperluan. Pembangunan yang tidak terkendali di cekungan Bandung telah menurunkan pasokan air ke waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur, sehingga mengancam kelangsungan fungsi-fungsi strategisnya. Gambar 1 memperlihatkan perubahan fungsi lahan dari hutan menjadi bangunan di DAS Citarum Hulu tahun 1962 sampai 2002. Luas hutan berkurang dari 58,152 ha pada tahun 1962 menjadi 34,290 ha pada tahun 2002, sementara luas bangunan meningkat dari hanya 6,038 ha menjadi 28,534 ha. Kondisi yang sama terjadi di cekungan Semarang-Demak dan cekungan Surabaya-Pasuruan. Berkurangnya volume air di waduk-waduk serbaguna akan menyebabkan dampak negatif lanjutan yang berantai. Petani akan mengalami gagal panen sehingga mengganggu pasokan bahan pangan akibat tidak terpenuhinya kebutuhan irigasi. Kegiatan produksi tidak maksimal karena terganggunya pasokan energi listrik, dan yang tidak kalah pentingnya adalah pasokan air yang cukup untuk kebutuhan rumah tangga makin sulit dipenuhi.
Waduk-waduk semakin tergantung pada curah hujan untuk memenuhi kebutuhan minimum volume airnya untuk dapat berfungsi. Sehingga apabila curah hujan berada di bawah normal, waduk-waduk tersebut pun mengalami krisis air. Tahun lalu, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah melaporkan bahwa dari 72 waduk besar dan 36 embung yang dipantaunya, hanya 11 waduk dan 1 embung yang berada dalam kondisi normal, yang lainnya tidak normal sehingga perlu tambahan air. Tambahan air ini diperoleh dengan hujan buatan, yang tentu saja memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk melaksanakannya.
Bencana kedua adalah penurunan permukaan tanah. Penurunan permukaan tanah ini terutama dapat dijumpai pada daerah yang dibangun diatas lahan basah atau rawa. Kekeringan pada tanah yang mengandung banyak bahan organik ini akan menyebabkan terjadinya pengerutan volume tanah dan sebagai akibat lanjutannya adalah amblasnya permukaan tanah. Fenomena ini telah diamati dibeberapa kota besar seperti Semarang dan Jakarta. Daerah-daerah yang sebelumnya tidak kebanjiran menjadi sangat mudah tergenang air, lantai dan dinding bangunanpun menjadi retak-retak sebagai akibat penurunan permukaan tanah ini.
Bencana ketiga adalah terjadinya intrusi air laut. Penurunan muka ABT berakibat pada makin besarnya volume rongga atau pori-pori tanah, yang dalam kondisi ideal berisi udara dan air segar, yang kering kerontang. Pori-pori tanah yang telah ditinggalkan oleh air segar berkadar garam rendah (+ 1000 ppm) ini kemudian diisi oleh air laut yang berkadar garam tinggi (+ 35.000 ppm). Air laut ini selain tidak layak untuk diminum juga tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman untuk proses metabolismenya dan merusak struktur tanah. Dilaporkan bahwa intrusi air laut ini telah terjadi di Jakarta, Semarang, dan kota besar lainnya. Di Jakarta, intrusi air laut ini telah menghampiri kawasan Monas, sedangkan di Semarang telah sampai di Simpang Lima. Jika kondisi ini terus berlanjut dapat diduga bahwa Jakarta, Semarang dan kota-kota pantai lainnya akan semakin gersang dan langka air bersih.
Bencana keempat adalah meningkatnya harga air persatuan volume. Dengan bertambah dalamnya ABT maka pipa yang dipergunakan untuk memompa air dari dalam tanah harus dibuat makin panjang. Konsekuensinya adalah energi yang dibutuhkan untuk memompa air persatuan volume juga membengkak. Masyarakatpun dipaksa untuk merogoh kantongnya lebih dalam lagi untuk membayar rekening airnya. Tahun ini saja harga air bersih di Bogor telah meningkat hampir dua kali lipat dibanding sebelumnya. Semua ini adalah sebagai akibat dari bertambahnya ongkos produksi air bersih persatuan volume.
Dalam jangka panjang keempat bencana tersebut dapat diatasi dengan melakukan peninjauan ulang terhadap pembangunan sumberdaya air kita. Jika sebelumnya pemerintah memfokuskan penyediaan air bersih dengan membangun dam dan waduk berskala besar dengan biaya jutaan dollar, maka sudah waktunya dipikirkan alternatif lain yang lebih murah dan sifatnya in situ. Alternatif tersebut adalah dengan memanfaatkan tanah yang kita pijak sebagai media penampung air.
Kedengarannya aneh, namun demikian perlu diketahui bahwa tanah yang kita pijak sehari-hari terdiri atas 3 bahan utama yaitu padatan, udara, dan air. Bahan padatan adalah butir-butir liat, lempung, dan pasiran yang tercampur sedemikian rupa dengan komposisi yang berbeda-beda yang kemudian disebut tekstur tanah. Tekstur tanah ini kemudian membentuk agregate tanah dengan bantuan bahan organic yang telah melapuk. Karena ukuran dan bentuk butiran tersebut berbeda, maka dalam proses pembentukan agregate tanah, terbentuk juga rongga atau dikenal sebagai pori tanah. Pori tanah ini, baik yang berukuran makro, meso maupun mikro, kemudian akan terisi oleh air dan udara. Kemampuan pori tanah dalam menyimpan air inilah yang belum banyak dimanfaatkan. Tanah dengan luasan 1 hektar berkedalaman 1 meter diperkirakan mampu menyimpan air sekitar 2500 meter kubik. Jumlah ini mampu memenuhi kebutuhan air untuk 10000 orang, jika kebutuhan air perorang rata-rata 250 liter perhari. Volume air yang tersimpan akan lebih banyak jika kedalaman tanah yang diperhitungkan lebih dalam lagi.
Sayangnya model pembangunan kita mengabaikan kemampuan besar dari tanah untuk ini untuk mengamankan kebutuhan air kita yang sangat vital. Pembangunan gedung-gedung, lapangan parkir, dan jalan telah menihilkan air yang meresap kedalam tanah. Model pembangunan seperti ini menyebabkan sebagian besar air hujan akan langsung mengalir masuk ke parit kemudian kesungai dan sangat sedikit yang meresp ke dalam tanah. Akibatnya adalah banjir pada musim hujan karena sungai tidak mampu lagi menampung volume air limpasan permukaan dan kekeringan pada musim hujan karena tidak ada air tersimpan didalam tanah.
Kedua aspek ini, pembangunan dan air tanah, yang kelihatannya saling bertentangan sebenatrnya dapat saling mendukung apabila diterapkan teknologi yang dapat menjembatani keduanya. Dinegara maju seperti Amerika, membangun storm water detention and retention systems sudah menjadi keharusan bagi setiap pengembang yang akan membangun. Sistem ini dapat dibuat diatas permukaan tanah dalam bentuk embung-embung jika lahan mencukupi, tetapi juga dapat dibuat di bawah permukaan tanah dengan memasang rangkain pipa-pipa berpori. Rangkaian pipa-pipa berpori ini umumnya dipasang didalam tanah parallel dengan lapangan parkir yang ada diatasnya sehingga tidak menyita lahan. Prinsip utamanya adalah pipa-pipa ini menampung sementara air limpasan permukaan untuk kemudian dilepaskan ke tanah secara perlahan-lahan. Manfaatnya adalah mengurangi bahaya banjir pada musim hujan karena air limpasan permukaan tertampung sementara didalam pipa. Tentu saja harus dihitung potensi volume air limpasan permukaan sebelum pembangunan yang kemudian disesuaikan dengan daya tampung pipa yang akan dipasang. Manfaat lainnya adalah mengisi kembali pori tanah tersebut dengan air segar dengan demikian akan mencegah intrusi air laut dan menyediakan sumber air. Keberhasilan penerapan teknologi ini sangat tergantung pada political will pemerintah yang ditunjukkan dengan penerbitan Perda yang mengharuskan pengembang untuk mengelola air limpasan permukaan sebagai akibat dari proyeknya. Teknologi ini dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengendalikan air limpasan permukaan sekaligus menyediakan kebutuhan air bersih. Selanjutnya adalah law enforcement dari peraturan yang sudah dibuat untuk menjamin pelaksanaannya di lapangan.
Achmad Rachman
Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia seperti Semarang, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar diperkirakan dalam waktu 10 tahun ke depan akan mengalami krisis air bersih yang parah baik untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun untuk industri. Saat ini saja konflik antar masyarakat untuk mendapatkan air bersih semakin sering terjadi. Waduk-waduk besar seperti Jatiluhur, Cirata, Saguling, dan Kedung Ombo yang dibangun dengan dana yang tidak sedikit semakin hari semakin keteteran dalam memasok air baik untuk keperluan irigasi, pembangkit listrik, maupun untuk kebutuhan rumah tangga masyarakat perkotaan. Kekurangan pasokan air ini disikapi masyarakat dengan jalan memompa air dari dalam perut bumi ke permukaan tanah. Pendekatan yang sama dilakukan juga oleh pelaku industri baik kecil, menengah, maupun industri besar.
Pemompaan air tanah ini terus berlanjut tanpa kendali. Satu survai yang dilakukan di Semarang pada tahun 1994 menunjukkan bahwa pengambilan air tanah dalam di Semarang mencapai 44 ribu meter kubik perhari. Pengguna terbesar adalah industri (330 liter perdetik), disusul kemudian oleh PDAM (300 liter perdetik), dan perorangan, hotel dan perkantoran (200 liter perdetik). Di tahun 2004 ini atau sepuluh tahun setelah survai itu dilaksanakan angka tersebut tentunya telah mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya industri dan jumlah penduduk. Penyedotan air yang tidak terkendali dari dalam tanah yang tidak dibarengi dengan penambahan air yang seimbang melalui proses infiltrasi dan perkolasi menyebabkan turunnya muka air tanah (ABT). Penurunan muka ABT diamati telah terjadi di sejumlah kota besar. Di Semarang, penurunan muka ABT saat ini telah mencapai kedalaman 24,6 meter, 24 meter lebih dalam dibanding kondisi pada tahun 1970-an (KOMPAS, 16/8/04). Di Bandung, laju penurunan muka ABT ditengarai mencapai 1-2 meter pertahun (Media Indonesia, 14/8/04). Kondisi yang lebih parah tentu akan dijumpai di Jakarta.
Paling tidak ada empat bencana yang akan terjadi jika kondisi ini terus berlangsung. Yang pertama adalah berkurangnya pasokan air ke waduk-waduk yang dibangun sebagai penyimpan air yang nantinya digunakan untuk berbagai keperluan. Pembangunan yang tidak terkendali di cekungan Bandung telah menurunkan pasokan air ke waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur, sehingga mengancam kelangsungan fungsi-fungsi strategisnya. Gambar 1 memperlihatkan perubahan fungsi lahan dari hutan menjadi bangunan di DAS Citarum Hulu tahun 1962 sampai 2002. Luas hutan berkurang dari 58,152 ha pada tahun 1962 menjadi 34,290 ha pada tahun 2002, sementara luas bangunan meningkat dari hanya 6,038 ha menjadi 28,534 ha. Kondisi yang sama terjadi di cekungan Semarang-Demak dan cekungan Surabaya-Pasuruan. Berkurangnya volume air di waduk-waduk serbaguna akan menyebabkan dampak negatif lanjutan yang berantai. Petani akan mengalami gagal panen sehingga mengganggu pasokan bahan pangan akibat tidak terpenuhinya kebutuhan irigasi. Kegiatan produksi tidak maksimal karena terganggunya pasokan energi listrik, dan yang tidak kalah pentingnya adalah pasokan air yang cukup untuk kebutuhan rumah tangga makin sulit dipenuhi.
Waduk-waduk semakin tergantung pada curah hujan untuk memenuhi kebutuhan minimum volume airnya untuk dapat berfungsi. Sehingga apabila curah hujan berada di bawah normal, waduk-waduk tersebut pun mengalami krisis air. Tahun lalu, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah melaporkan bahwa dari 72 waduk besar dan 36 embung yang dipantaunya, hanya 11 waduk dan 1 embung yang berada dalam kondisi normal, yang lainnya tidak normal sehingga perlu tambahan air. Tambahan air ini diperoleh dengan hujan buatan, yang tentu saja memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk melaksanakannya.
Bencana kedua adalah penurunan permukaan tanah. Penurunan permukaan tanah ini terutama dapat dijumpai pada daerah yang dibangun diatas lahan basah atau rawa. Kekeringan pada tanah yang mengandung banyak bahan organik ini akan menyebabkan terjadinya pengerutan volume tanah dan sebagai akibat lanjutannya adalah amblasnya permukaan tanah. Fenomena ini telah diamati dibeberapa kota besar seperti Semarang dan Jakarta. Daerah-daerah yang sebelumnya tidak kebanjiran menjadi sangat mudah tergenang air, lantai dan dinding bangunanpun menjadi retak-retak sebagai akibat penurunan permukaan tanah ini.
Bencana ketiga adalah terjadinya intrusi air laut. Penurunan muka ABT berakibat pada makin besarnya volume rongga atau pori-pori tanah, yang dalam kondisi ideal berisi udara dan air segar, yang kering kerontang. Pori-pori tanah yang telah ditinggalkan oleh air segar berkadar garam rendah (+ 1000 ppm) ini kemudian diisi oleh air laut yang berkadar garam tinggi (+ 35.000 ppm). Air laut ini selain tidak layak untuk diminum juga tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman untuk proses metabolismenya dan merusak struktur tanah. Dilaporkan bahwa intrusi air laut ini telah terjadi di Jakarta, Semarang, dan kota besar lainnya. Di Jakarta, intrusi air laut ini telah menghampiri kawasan Monas, sedangkan di Semarang telah sampai di Simpang Lima. Jika kondisi ini terus berlanjut dapat diduga bahwa Jakarta, Semarang dan kota-kota pantai lainnya akan semakin gersang dan langka air bersih.
Bencana keempat adalah meningkatnya harga air persatuan volume. Dengan bertambah dalamnya ABT maka pipa yang dipergunakan untuk memompa air dari dalam tanah harus dibuat makin panjang. Konsekuensinya adalah energi yang dibutuhkan untuk memompa air persatuan volume juga membengkak. Masyarakatpun dipaksa untuk merogoh kantongnya lebih dalam lagi untuk membayar rekening airnya. Tahun ini saja harga air bersih di Bogor telah meningkat hampir dua kali lipat dibanding sebelumnya. Semua ini adalah sebagai akibat dari bertambahnya ongkos produksi air bersih persatuan volume.
Dalam jangka panjang keempat bencana tersebut dapat diatasi dengan melakukan peninjauan ulang terhadap pembangunan sumberdaya air kita. Jika sebelumnya pemerintah memfokuskan penyediaan air bersih dengan membangun dam dan waduk berskala besar dengan biaya jutaan dollar, maka sudah waktunya dipikirkan alternatif lain yang lebih murah dan sifatnya in situ. Alternatif tersebut adalah dengan memanfaatkan tanah yang kita pijak sebagai media penampung air.
Kedengarannya aneh, namun demikian perlu diketahui bahwa tanah yang kita pijak sehari-hari terdiri atas 3 bahan utama yaitu padatan, udara, dan air. Bahan padatan adalah butir-butir liat, lempung, dan pasiran yang tercampur sedemikian rupa dengan komposisi yang berbeda-beda yang kemudian disebut tekstur tanah. Tekstur tanah ini kemudian membentuk agregate tanah dengan bantuan bahan organic yang telah melapuk. Karena ukuran dan bentuk butiran tersebut berbeda, maka dalam proses pembentukan agregate tanah, terbentuk juga rongga atau dikenal sebagai pori tanah. Pori tanah ini, baik yang berukuran makro, meso maupun mikro, kemudian akan terisi oleh air dan udara. Kemampuan pori tanah dalam menyimpan air inilah yang belum banyak dimanfaatkan. Tanah dengan luasan 1 hektar berkedalaman 1 meter diperkirakan mampu menyimpan air sekitar 2500 meter kubik. Jumlah ini mampu memenuhi kebutuhan air untuk 10000 orang, jika kebutuhan air perorang rata-rata 250 liter perhari. Volume air yang tersimpan akan lebih banyak jika kedalaman tanah yang diperhitungkan lebih dalam lagi.
Sayangnya model pembangunan kita mengabaikan kemampuan besar dari tanah untuk ini untuk mengamankan kebutuhan air kita yang sangat vital. Pembangunan gedung-gedung, lapangan parkir, dan jalan telah menihilkan air yang meresap kedalam tanah. Model pembangunan seperti ini menyebabkan sebagian besar air hujan akan langsung mengalir masuk ke parit kemudian kesungai dan sangat sedikit yang meresp ke dalam tanah. Akibatnya adalah banjir pada musim hujan karena sungai tidak mampu lagi menampung volume air limpasan permukaan dan kekeringan pada musim hujan karena tidak ada air tersimpan didalam tanah.
Kedua aspek ini, pembangunan dan air tanah, yang kelihatannya saling bertentangan sebenatrnya dapat saling mendukung apabila diterapkan teknologi yang dapat menjembatani keduanya. Dinegara maju seperti Amerika, membangun storm water detention and retention systems sudah menjadi keharusan bagi setiap pengembang yang akan membangun. Sistem ini dapat dibuat diatas permukaan tanah dalam bentuk embung-embung jika lahan mencukupi, tetapi juga dapat dibuat di bawah permukaan tanah dengan memasang rangkain pipa-pipa berpori. Rangkaian pipa-pipa berpori ini umumnya dipasang didalam tanah parallel dengan lapangan parkir yang ada diatasnya sehingga tidak menyita lahan. Prinsip utamanya adalah pipa-pipa ini menampung sementara air limpasan permukaan untuk kemudian dilepaskan ke tanah secara perlahan-lahan. Manfaatnya adalah mengurangi bahaya banjir pada musim hujan karena air limpasan permukaan tertampung sementara didalam pipa. Tentu saja harus dihitung potensi volume air limpasan permukaan sebelum pembangunan yang kemudian disesuaikan dengan daya tampung pipa yang akan dipasang. Manfaat lainnya adalah mengisi kembali pori tanah tersebut dengan air segar dengan demikian akan mencegah intrusi air laut dan menyediakan sumber air. Keberhasilan penerapan teknologi ini sangat tergantung pada political will pemerintah yang ditunjukkan dengan penerbitan Perda yang mengharuskan pengembang untuk mengelola air limpasan permukaan sebagai akibat dari proyeknya. Teknologi ini dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengendalikan air limpasan permukaan sekaligus menyediakan kebutuhan air bersih. Selanjutnya adalah law enforcement dari peraturan yang sudah dibuat untuk menjamin pelaksanaannya di lapangan.
Achmad Rachman
Langganan:
Postingan (Atom)